Bacaan Ayat Kursi dan Terjemah Serta
Manfaatnya
Sebagai seorang muslim sobat pernah
menulis atau menghapalkan ayat kursi pada waktu di sekolah dasar maupun di
pengajian, Ayat kursi ini dapat dibaca kapan saja namun akan lebih baik jika
dibaca setiap permulaan siang dan malam hari
Perlu sobat ketahui bahwa ayat kursi
ini merupakan ayat yang agung dan terdapat pada surat Al-Baqarah ayat yang ke
255 yang menerangkan tentang keesaan tuhan[Allah SWT], dibawah ini terdapat
ayat Kursi dalam tulisan Bahasa arab dan Terjemahan Dari ayat kursi.
Ayat Kursi Gambar Tulisan Arab :
Ayat Kursi Sumber Wikipedia
Ayat Kursi Hurup Latin :
ALLAHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL
QAYYUM, LAA TA’KHUDZUHUU SINATUW WA LAA NAUUM, LAHUU MAA FISSAMAAWAATI WA MAA
FIL ARDH, MAN DZAL LADZII YASFA’U ‘INDAHUU ILLAA BI IDZNIH, YA’LAMU MAA BAINA
AIDIIHIM WA MAA KHALFAHUM, WA LAA YUHITHUUNA BI SYAI-IN MIN ‘ILMIHII ILLAA BI
MAASYAA’ WASI’A KURSIYYUHUSSAMAAWAATI WAL ARDH, WA LAA YA-UUDHUHU HIFZHUHUMAA
WAHUWAL ‘ALIYYUL AZHIIM
Ayat Kursi Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa
izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar
Manfaat Dari Ayat Kursi :
1. Dapat mendatangkan hajat bila dibaca 100 kali pada
waktu tengah malam setelah melakukan shalat sunat hajat2. Bacalah ayat kursi pada setiap permulaan siang dan malam hari yang Dapat mengusir dan menghindar dari gangguan jin, syetan, makhluk ghoib, makhluk halus dan sebangsanya serta gannguan dari orang-orang zhalim
3. Menyembuhkan orang gila dan kerasukan atau kesurupan dengan cara membaca 11 kali pada orang gila tersebut dengan sambil ditiup-tiupkan
4. Menyembuhkan segala macam penyakit dengan menulis ayat kursi pada wadah air minum seperti gelas, mangkuk, cangkir, kendi, piring, dan lain-lain Dengan Izin Allah SWT
KISAH
Ja’far bin Abu Thalib Rodhiallahu 'anhu
Dari keturunan Abdu Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam, sehingga karena kemiripan ini orang yang kurang tajam
penglihatannya sering tidak bisa membedakan antara Nabi Shalallahu 'alaihi
wasalam dengan lima orang tersebut.
Mereka yang menyerupai Nabi Shalallahu 'alaihi wasalam adalah Abu
Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam dan saudara sesusuannya, Qutsam bin al-Abbas bin Abdul
Muthallib, juga anak paman Nabi Shalallahu 'alaihi wasalam, Sa'ib
bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim, kakeknya Imam Syafi'i, Hasan bin
Ali cucu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam, dia adalah orang sangat
mirip dengan Nabi Shalallahu 'alaihi wasalam dari kelima orang lainnya
dan yang terakhir adalah Ja'far bin Abu Thalib, saudara kandung
Amirul Mu'minin Ali bin Abu Thalib.
Abu Thalib, meskipun kedudukannya sangat terhormat di kalangan Quraisy dan
sangat terpandang di antara kaumnya, adalah sosok yang sederhana dan memiliki
banyak keluarga. Keadaannya sangat memprihatinkan pada tahun kekeringan. Ketika
itu, tidak ada hujan yang turun yang membasahi tanah kaum Quraisy sehingga
tanaman mereka hancur dan hewan ternak mereka binasa. Keadaan itu memaksa
banyak orang untuk memakan tulang belulang yang sudah membusuk.
Ketika itu, tidak ada orang dari kalangan bani Hasyim yang lebih baik
keadaannya dari Muhammad bin Abdullah dan pamannya Abbas. Muhammad berkata
kepada Abbas, "Wahai paman, sesungguhnya, saudaramu Abu Thalib memiliki
keluarga yang banyak. Dan engkau melihat sendiri kekeringan dan kelaparan telah
menimpa manusia. Maka, marilah kita pergi menemuinya untuk kita bawa sebagian
keluarganya. Aku mengambil salah satu anaknya dan engkau mengambil anaknya yang
lain kemudian kita tanggung keperluan mereka berdua."
Akhirnya, mereka berdua pergi dan setibanya di hadapan Abu Thalib mereka
berkata, "Sesungguhnya, kami ingin meringankan beban yang engkau pikul
dalam menghidupi keluargamu agar keadaan sulit ini, yang juga menimpa orang
lain, bisa teratasi."
Abu Thalib menjawab, "Jika
kalian berdua meninggalkan 'Uqail untuk tetap berada di
sisiku, maka berbuatlah seperti yang kalian kehendaki.
Maka, Muhammad mengambil Ali untuk dijadikan orang yang berada di bawah
tanggungannya dan Abbas mengambil Ja'far untuk dibawa kepada keluarganya. Ali
hidup bersama Muhammad sampai suatu masa di mana Allah mengangkat Muhammad
sebagai seorang Rasul yang membawa agama yang hak dan Ali adalah orang yang
pertama kali masuk Islam dari kalangan remaja. Sedangkan Ja'far hidup
bersama pamannya Abbas sampai ia dewasa lalu masuk Islam dan akhirnya bisa
hidup mandiri.
Ja'far bin Abu Thalib dan istrinya, Asma' binti 'Umais, masuk ke
barisan cahaya iman di awal perjalanan dakwah. Mereka berdua masuk Islam atas
ajakan Abu Bakar ash-Shiddiq Rodhiallahu 'anhu sebelum Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam masuk ke rumah Arqam.
Pemuda keturunan Hasyim dan istrinya itu mendapatkan siksaan dari kaum Quraisy
sebagaimana orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Mereka berdua sabar atas
siksaan itu karena mereka tahu bahwa jalan menuju surga penuh dengan duri dan
kesulitan. Akan tetapi, yang membuat pikiran mereka berdua dan saudara-saudara
mereka yang seiman berat dan keruh adalah sikap kafir Quraisy yang menghalangi
mereka untuk menghidupkan syiar Islam dan merasakan kelezatan beribadah.
Mereka selalu mengintai dan mengawasi gerak-gerik mereka di setiap tempat,
bahkan mereka sepertinya menghitung embusan napas orang-orang tersebut.
Ketika itulah Ja'far bin Abu Thalib meminta izin kepada
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam untuk hijrah ke Habasyah bersama
istri dan beberapa sahabat. Dengan penuh rasa sedih Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam mengizinkan mereka berhijrah. Padahal sebenarnya, sangat berat
bagi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam mengizinkan mereka untuk
meninggalkan tempat tinggal mereka, tempat bermain mereka di waktu kecil, dan
tempat mereka menghabiskan masa muda mereka tanpa ada dosa yang mereka lakukan
melainkan hanya karena mereka mengucapkan "Tuhan kami adalah Allah."
Akan tetapi, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam tidak memiliki
kekuatan yang dapat melindungi mereka dari penyiksaan yang dilakukan oleh kafir
Quraisy.
Akhirnya, rombongan kaum Muhajirin pertama pergi menuju ke negeri Habasyah
dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib Rodhiallahu 'anhu. Di sana,
mereka berada di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang terkenal adil
dan baik. Untuk pertama kalinya, sejak mereka masuk Islam, mereka bisa
menikmati rasa aman dan merasakan nikmatnya beribadah tanpa ada yang mengganggu
ibadah dan merusak kebahagiaan mereka.
Orang-orang Quraisy mengetahui kepergian rombongan umat Islam ini ke negeri
Habasyah. Mereka juga mengetahui bahwa di bawah perlindungan (suaka) dari raja
yang berkuasa di sana, rombongan tersebut mendapatkan rasa tenang dalam
menjalankan agama mereka dan rasa aman dalam memegang akidah mereka. Maka, di
antara orang-orang Quraisy itu ada yang mengusulkan untuk membunuh mereka yang
hijrah atau mengembalikan mereka ke Mekah dan selanjutnya dimasukkan ke dalam
ruang tahanan yang besar.
Sekarang, mari kita simak penuturan Ummu Salamah Rodhiallahu 'anha tentang
peristiwa hijrah ini, seperti yang ia saksikan sendiri dengan matanya dan ia
dengar dengan telinganya. Ia Rodhiallahu 'anha berkata, "Ketika
kami menetap di Habasyah, kami merasakan bahwa Habasyah adalah tempat yang baik
untuk berlindung. Kami merasa aman dalam menjalankan ajaran agama kami. Kami
bisa beribadah kepada Tuhan kami, Allah Subhanahu wa Ta'ala, tanpa
merasa disakiti atau mendengar perkataan yang tidak kami sukai. Ketika berita
tentang kami ini sampai kepada kaum Quraisy, mereka membuat sebuah rencana
untuk kami. Mereka mengirim dua orang yang terkenal kuat dari kalangan mereka
untuk menemui Najasyi.
Mereka berdua adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah. Bersama kedua
orang tersebut dikirim juga sejumlah barang dari tanah Hijaz yang disukai
orang-orang Habasyah dalam jumlah yang banyak untuk diserahkan kepada Najasyi
dan para pendetanya. Mereka berpesan kepada kedua orang itu untuk menyerahkan
hadiah berupa barang yang dibawa kepada seluruh pendeta terlebih dahulu sebelum
berbicara kepada raja Habasyah tentang kami.
Ketika dua orang utusan kaum Quraisy itu tiba di Habasyah, mereka langsung
menemui para pendeta dan memberikan hadiah yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Tidak ada satu pun dari para pendeta yang mereka temui melainkan mereka berikan
hadiah seraya berkata, 'Sesungguhnya, ada beberapa orang dari kalangan
orang-orang bodoh kaum kami yang tinggal di negeri raja Habasyah ini. Mereka
telah keluar dari agama bapak-bapak dan kakek-kakek mereka. Mereka telah
memecah belah persatuan kaum mereka. Jika kami menghadap raja dan membicarakan
masalah mereka, berikanlah masukan kepadanya agar ia menyerahkan orang-orang
tersebut kepada kami tanpa perlu ia menanyakan agama baru mereka, karena para
pembesar kaum mereka lebih mengetahui keadaan dan keyakinan mereka.'
Para pendeta itu menjawab, 'Ya.'''
Ummu Salamah berkata, "Ketika
itu, tidak ada yang lebih dibenci oleh Amr dan temannya melainkan raja Najasyi
memanggil salah seorang dari kami dan mendengarkan perkataannya."
Kemudian kedua utusan Quraisy itu menghadap Najasyi dan memberikan beberapa
hadiah kepadanya. Sang raja begitu tertarik dan sangat mengagumi hadiah-hadiah
tersebut. Lalu, kedua utusan itu berkata, "Wahai Raja, sesungguhnya,
beberapa orang jahat dari kaum kami telah tinggal di wilayah kerajaanmu. Mereka
datang membawa agama yang tidak kami kenal, bahkan engkau juga tidak
mengenalinya. Mereka meninggalkan agama kami, tetapi mereka juga tidak masuk
agamamu. Dan sesungguhnya, para pembesar kaum mereka dari kalangan keluarga
mereka, yaitu bapak-bapak dan paman-paman mereka telah mengutus kami kepadamu
untuk bisa memulangkan kembali orang-orang tersebut kepada keluarga mereka.
Para pembesar itu adalah orang yang paling tahu tentang fitnah yang telah
mereka buat."
Najasyi menoleh ke arah para pendetanya. Kemudian para pendeta itu pun berkata,
"Wahai Raja, kedua utusan itu memang benar. Sesungguhnya, kaum mereka
lebih mengetahui keadaan mereka dan lebih mengetahui apa yang telah mereka
lakukan. Kembalikanlah orang-orang tersebut kepada kaum mereka. Biarkanlah kaum
mereka memutuskan perkara mereka."
Mendengar perkataan para pendetanya itu, raja Najasyi sangat marah. Ia berkata,
"Demi Allah, tidak! Aku tidak akan menyerahkan orang-orang itu kepada
siapa pun sebelum aku memanggil mereka dan menanyakan hal-hal yang dikaitkan
kepada mereka. Jika benar keadaan mereka seperti yang dikatakan oleh dua orang
utusan ini, aku akan serahkan mereka kepada kedua orang ini. Dan jika keadaan
mereka tidak seperti yang dikatakan, aku akan melindungi mereka dan aku akan
bersikap baik kepada mereka selama mereka masih mau meminta
perlindunganku."
Ummu Salamah berkata, "Kemudian Najasyi mengutus seseorang untuk
memanggil kami dan bertemu dengannya. Sebelum pergi menemui Najasyi, kami
berkumpul terlebih dahulu. Sebagian dari kami berkata, 'Sesungguhnya, Raja akan
bertanya kepada kalian tentang agama kalian. Maka, bersikap tegaslah terhadap
keyakinan kalian. Dan hendaknya yang berbicara mengenai kalian adalah Ja'far
bin Abu Thalib, tidak boleh ada yang berbicara selainnya.'"
Ummu Salamah berkata, "Kemudian kami pergi menemui Najasyi. Setibanya di
sana, aku melihat para pendeta juga dipanggil oleh Najasyi. Mereka duduk di
sebelah kanan dan kiri raja. Mereka memakai jubah resmi kependetaan,
mengenakan peci di atas kepala mereka, dan membuka kitab-kitab suci di hadapan
mereka. Kami juga melihat Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah berada di
sisinya. Ketika kami sudah duduk, Najasyi menengok ke arah kami dan bertanya,
'Agama apakah yang telah kalian buat ini yang dengan sebabnya kalian keluar
dari agama kaum kalian tetapi tidak masuk ke dalam agamaku, bahkan agama-agama
lainnya?'
Ja'far bin Abu Thalib maju dan berkata, 'Wahai Raja, dulu kami adalah
kaum yang dikenal sebagai orang-orang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan
bangkai, melakukan perbuatan keji, memutus tali silaturahmi, berbuat buruk
terhadap tetangga, dan orang yang kuat di antara kami menindas yang lemah.
Seperti itulah keadaan kami sampai akhirnya Allah mengutus kepada kami seorang
Rasul yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya. Ia
mengajak kami untuk mengesakan Allah, menyembah-Nya, dan meninggalkan semua
yang kami dan orang-orang tua kami biasa menyembahnya selain-Nya, yaitu berupa
bebatuan dan berhala. Ia memerintahkan kami untuk berbicara jujur, menunaikan
amanah, bersilaturahmi, berbuat baik terhadap tetangga, menjauhkan diri dari
segala perbuatan yang haram, dan tidak menumpahkan darah. Melarang kami berbuat
keji, berbicara dusta, memakan harta anak yatim, dan memfitnah wanita-wanita.
Ia memerintahkan kami untuk menyembah hanya kepada Allah, tidak
menyekutukan-Nya dengan apa pun. Memerintahkan kami untuk mendirikan shalat,
membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Maka, kami membenarkannya, mengimaninya,
dan mengikuti apa yang dibawa olehnya dari sisi Allah. Kami menghalalkan apa
yang dihalalkan bagi kami dan mengharamkan apa yang diharamkan bagi kami.
Wahai Raja, apa yang dilakukan oleh kaum kami tidak lain adalah mereka memusuhi
kami dan menyiksa kami dengan siksaan yang berat agar kami tersiksa dengan
agama kami, dan mereka bisa mengembalikan kami menyembah berhala. Ketika mereka
berbuat zalim kepada kami, menyiksa kami, menjadikan kami dalam keadaan sulit,
dan menghalangi kami untuk melakukan ajaran agama kami. Kami pergi ke negerimu.
Kami memilihmu dari yang lainnya. Kami menginginkan perlindunganmu dan kami
berharap tidak ada di antara kami yang dizalimi ketika berada di sisimu.'"
Ummu Salamah berkata, "Najasyi
menoleh ke arah Ja'far bin Abu Thalib. Ia berkata, 'Adakah
sesuatu yang dibawa oleh Nabi kalian yang datang dari Allah yang bisa kalian
tunjukkan?'
Ja'far menjawab, 'Ya.' Kemudian Najasyi berkata, 'Bacakanlah kepadaku!' Maka Ja'far membaca, Surat Maryam: 1-4, yang artinya: 'Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria. Yaitu, tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya, tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. '"
Ummu Salamah berkata, "Mendengar firman Allah tersebut Najasyi menangis
sehingga janggutnya basah oleh air mata. Para pendeta yang hadir juga menangis sehingga
membasahi kitab-kitab mereka. Ketika itu, Najasyi berkata kepada kami,
'Sesungguhnya, apa yang dibawa oleh Nabi kalian dan yang dibawa oleh Isa adalah
berasal dari sumber yang sama.' Kemudian, ia berpaling ke arah Amr dan seorang
temannya seraya berkata, 'Pergilah kalian berdua. Demi Allah, sekali-kali aku
tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua!'"
Ummu Salamah berkata, "Ketika kami keluar dari sisi Najasyi, Amr bin Ash
mengancam kami dengan berkata kepada temannya, 'Demi Allah, besok aku akan
mendatangi Raja kembali. Aku akan menceritakan kepadanya ajaran mereka yang
bisa membuatnya marah besar dan hatinya sakit penuh kebencian. Aku akan
memprovokasi agar raja membinasakan mereka.'
Abdullah bin Abi Rabi'ah berkata,
'Jangan engkau lakukan hal itu, wahai Amr. Mereka masih termasuk sanak saudara
kita, sekalipun mereka bertentangan dengan kita.'
Amr berkata kepadanya, 'Janganlah engkau pikirkan hal ini. Demi Allah, aku akan
memberitahukan raja perkara yang akan mengguncangkan pijakan kaki mereka. Demi
Allah, aku akan mengatakan kepada raja bahwa mereka mengatakan bahwa lsa bin
Maryam adalah seorang hamba.'"
Keesokan harinya Amr menemui Najasyi. Ia berkata, "Wahai Raja,
sesungguhnya, orang-orang yang engkau beri perlindungan mengatakan suatu
perkataan yang sangat menyakitkan tentang lsa bin Maryam. Panggillah mereka dan
tanyakan kepada mereka tentang hal tersebut."
Ummu Salamah berkata, "Ketika kami mengetahui hal itu, perasaan khawatir
dan sedih yang belum pernah kami rasakan sebelumnya menimpa kami. Di antara
kami ada yang bertanya, 'Apa yang akan kita katakan tentang Isa bin Maryam jika
nanti ditanya oleh raja?'
Kami semua menjawab, 'Demi Allah, kita tidak akan mengatakan apa pun melainkan
perkataan yang telah difirmankan oleh Allah. Dan kita tidak akan keluar seujung
jari pun dari ajaran yang dibawa oleh Nabi kita. Biarlah sesuatu yang terjadi
itu terjadi karena perkataan kita ini.' Kemudian, kami sepakat bahwa yang akan
mewakili kita dalam mengatakan hal ini adalah juga Ja'far bin Abu Thalib."
Ketika Najasyi memanggil kami dan kami masuk ke istananya, kami melihat para
pendetanya berada pada posisi yang sama seperti yang kami lihat sebelumnya dengan
seragam kebesaran mereka. Kami melihat juga Amr bin Ash berada di sisinya.
Ketika kami sudah berada di hadapannya, ia langsung bertanya kepada kami,
"Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?"
Ja'far bin Abu Thalib menjawab, "Kami hanya
mengatakan sesuatu yang dikatakan oleh Nabi kami Shalallahu 'alaihi wasalam.
"
Najasyi berkata, "Apa yang dikatakan oleh Nabi kalian tentang Isa ?"
Ja'far menjawab, "Nabi kami berkata
bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, Ruh-Nya, dan kalimat-Nya yang ditiupkan
kepada Maryam, perawan suci."
Mendengar jawaban Ja'far bin
Abu Thalib, Najasyi langsung memukulkan tangannya ke bumi seraya
berkata, "Demi Allah, Isa bin Maryam tidak keluar sehelai rambut pun dari
apa yang dikatakan oleh Nabi kalian!"
Mendengar itu, para pendeta yang berada di sisi Najasyi saling berbisik sebagai
tanda pengingkaran mereka terhadap pernyataan yang mereka dengar. Najasyi
berkata, "Kenapa kalian berbisik?" Kemudian ia menoleh ke arah kami
dan berkata, "Pergilah kalian! Kalian aman. Barangsiapa yang mencela
kalian, maka dia akan menanggung rugi dan barangsiapa yang menyakiti kalian,
maka dia akan diberi sanksi. Demi Allah, aku tidak senang memiliki emas
segunung, jika salah seorang dari kalian tertimpa keburukan."
Kemudian ia berpaling ke arah Amr
bin Ash dan temannya seraya berkata, "Kembalikanlah kepada kedua orang ini
hadiah-hadiah yang telah mereka berikan. Aku tidak membutuhkannya."
Ummu Salamah berkata, "Maka keluarlah Amr dengan temannya sebagai pecundang
yang membawa kegagalan. Sedangkan kami, akhirnya, bisa hidup di negeri yang
baik bersama seorang tetangga yang baik, Najasyi."
Ja'far bin Abu Thalib dan istrinya menghabiskan masa hidup mereka di
negeri Najasyi dalam keadaan tenang selama sepuluh tahun. Pada tahun ke-7
Hijriah mereka berdua bersama beberapa orang Islam meninggalkan negeri Habasyah
menuju Yatsrib. Ketika mereka sampai di Yatsrib, Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam baru kembali dari Khaibar, setelah Allah memberikan kemenangan
atas wilayah tersebut. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam sangat bergembira
bertemu dengan Ja'far sampai ia mengatakan, "Aku tidak tahu karena apa aku
sangat gembira: apakah karena kemenangan atas wilayah Khaibar atau karena
kedatangan Ja'far?"
Kegembiraan umat Islam khususnya orang-orang fakir atas kembalinya Ja'far tidak
kalah hebatnya dengan kegembiraan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam,
karena Ja'far dikenal sangat lemah lembut terhadap orang-orang yang lemah dan
banyak berbuat baik kepada mereka sehingga ia dijuluki sebagai "bapaknya
orang-orang miskin."
Abu Hurairah Rodhiallahu 'anhu meriwayatkan, "Orang yang sangat
baik kepada kami, para orang miskin, adalah Ja'far bin Abu Thalib. Pernah kami
mendatangi rumahnya dan ia memberi kami makanan yang ada padanya. Bahkan,
ketika makanannya habis, ia mengeluarkan kaleng kecil yang biasa digunakan
sebagai tempat minyak samin. Dalam kaleng itu tidak ada apa pun, maka kami
membelahnya dan kami jilati sisa-sisa yang menempel di dalamnya."
Tidak lama Ja'far bin Abu Thalib tinggal di Madinah. Di awal tahun ke-8
Hijriah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam mempersiapkan pasukan
untuk menaklukkan Romawi yang berkuasa di Negeri Syam dan menunjuk Zaid bin Haritsah
sebagai panglima pasukan. Ia berkata, "Jika Zaid terbunuh atau tertimpa
musibah, maka yang menjadi panglima penggantinya adalah Jafar bin Abu Thalib.
Jika Jafar terbunuh atau tertimpa musibah, maka yang menjadi panglima penggantinya
adalah Abdullah bin Rawahah. Jika Abdullah bin Rawahah terbunuh atau tertimpa
musibah, maka umat Islam yang ikut berperang hendaknya memilih salah seorang
dari mereka sebagai panglima."
Ketika pasukan Islam sampai di daerah Mu'tah, yaitu sebuah kampung kecil di
pinggiran Syam di wilayah Yordania, mereka mendapati Romawi telah menyiapkan
seratus ribu tentara di tambah seratus ribu lagi dari kaum Nasrani Arab dari
suku Lakhm, Judzam, Qudha'ah, dan lainnya. Sedangkan pasukan Islam hanya
berjumlah tiga ribu tentara.
Ketika kedua pasukan sudah saling bertemu dan peperangan sudah berkecamuk, Zaid
bin Haritsah menyambut kematian dengan berani. Ia terbunuh sebagai syahid.
Ketika itu, Ja'far bin Abu Thalib langsung melompat dari punggung
kudanya yang memiliki rambut berwarna merah kekuning-kuningan, lalu menusuknya
dengan pedangnya agar tidak ada musuh yang mengambil manfaatnya setelah itu. Ia
membawa panji perang dan masuk ke jantung barisan Romawi sambil melantunkan
syair,
"Duhai Surga yang begitu dekat
yang enak dan segar airnya Romawi oh Romawi, sudah dekat siksanya orang kafir
yang tidak berguna nasabnya
apabila aku telah bertemu dengannya
maka hanya sabetan pedang yang
menyambutnya"
Ia berputar-putar di tengah-tengah pasukan musuh sambil mengayunkan pedangnya.
Sampai akhirnya, ia terkena sabetan pedang sehingga tangan kanannya putus.
Kemudian ia pegang panji perang dengan tangan kirinya. Belum berapa lama, ia
terkena lagi sabetan pedang dan tangan kirinya pun putus. Lalu, ia pegang panji
perang dengan menggunakan dada dan kedua lengannya. Sesaat kemudian, ia
terkena sabetan yang ketiga yang membelah tubuhnya. Setelah itu, panji perang
langsung diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berperang sampai akhirnya
ia menyusul kedua sahabatnya yang syahid terlebih dahulu.
Berita kematian tiga panglima pasukan Islam sampai kepada Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam dan itu membuatnya sangat sedih dan merasa sangat
menyakitkan. Rasulullah pergi menuju rumah Ja'far bin Abu Thalib anak pamannya.
Ia bertemu istrinya Asma' binti Umais yang sudah bersiap-siap menyambut
kedatangan suaminya yang sedang pergi. Ia telah membuat makanan, memandikan
anak-anaknya, memberikan wewangian kepada mereka, dan memakaikan pakaian
mereka.
Asma' berkata, "Ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam
menemui kami, aku melihat di wajahnya ada gambaran kesedihan yang mengotori
wajahnya yang mulia. Karena itu, perasaan khawatir langsung meliputi hatiku.
Aku tidak berani menanyakan keadaan Ja'far kepadanya, takut kalau seandainya
aku mendengar sesuatu yang tidak aku inginkan. Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wasalam memberi salam dan berkata, 'Panggilkan anak-anak Ja'far!' Maka, aku
langsung memanggil mereka. Setelah dipanggil, mereka langsung menuju ke arah
Rasulullah dengan penuh gembira. Mereka saling berebut untuk bisa dekat
dengannya.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam memeluk mereka dan menciumi mereka
dengan air mata yang bercucuran dari kedua matanya. Aku bertanya, 'Wahai
Rasulullah, demi ayah dan ibuku sebagai tebusan, gerangan apakah yang membuatmu
menangis? Adakah berita tentang Ja'far dan kedua temannya yang engkau ketahui?'
Ia menjawab, 'Ya, mereka semua telah mendapatkan kesyahidan hari ini .... '"
Ketika itu, hilanglah senyum dan
kegembiraan dari wajah anak-anak Ja'far yang masih kecil setelah mereka
mendengar ibu mereka menangis. Mereka terpaku seakan-akan di atas kepala mereka
ada seekor burung.
Adapun Rasulullah Shalallahu
'alaihi wasalam, ia terus pergi sambil mengusap air matanya seraya berdoa,
"Ya Allah, berilah pengganti Ja'far bagi anak-anaknya. Ya Allah, berilah
pengganti Ja'far bagi keluarganya." Kemudian beliau berkata,
"Aku melihat
Jafar berada di dalam surga. Dia memiliki dua sayap yang berlumuran darah dan
bagian depannya juga tercelup darah." (Hadits).
Catatan :
- Abdu Manaf adalah salah seorang dari kakek (moyang) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam. Ia memiliki sepuluh keturunan yang merupakan kerabat dekat Nabi Shalallahu 'alaihi wasalam .
- Khaibar adalah kawasan benteng-benteng Yahudi yang ditaklukkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam. Pada tahun 7 H dan berhasil merampas kekayaan dalam jumlah yang sangat besar.
- Darul Arqam adalah sebuah rumah yang berada di kota Mekah dan disebut sebagai Darul Islam (rumah Islam). Rumah itu milik Arqam bin Abdu Manaf al-Makhzumi. Di rumah itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam mengajak manusia untuk masuk Islam.
- Uqail bin Abu Thalib adalah kakak kandung Ali.
Sumber: Shuwar min Hayaati ash-Shahaabah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar